Ketika rasa malu menyelimuti, apa yang
akan dilakukan?. Melihat anak-anak usia ± 3 – 7 tahun telah hafal 1 juz dalam
al-qur’an sangat merasa malu pada diri sendiri, apalagi pada orang tua dan yang
paling utama adalah malu kepada Allah SWT.
Di
sekolah dasar dia telah berhasil menghafal 1 juz dalam al-qur’an, juz yang
paling mudah yaitu juz 30. Hafal, lancar, dan telah khatam 3 kali. Kala itu,
dia merasa sombong dan tidak mau mengulangi hafalannya. Dia menganggap bahwa
dia yang paling hebat diantara saudara dan teman-temannya.
9 tahun menghabiskan masa kecil untuk
belajar di Ibu kota membuatnya mengerti pergaulan di sana. Pergaulan di Ibu
kota memang “sedikit” lebih kejam dibanding di desa. Meskipun dia tinggal di
desa, pergaulan dia lebih “maju” dibanding teman-temannya yang lain. Teknologi
dan komunikasi lebih dikuasai olehnya.
Masa SD dan SMP telah dan sedang
dijalaninya. Banyak orang bilang bahwa masa SMP adalah masa pencarian jati
diri, masa puber, masanya anak yang masih labil oleh karena itu dia terbawa
oleh pergaulan anak masa kini yang “sedikit” lebih buruk dibanding di desa.
Polos dan tidak tahu apapun, itulah dia
yang dulu saat baru masuk SMP. Sebagai
siswa lulusan sekolah dasar swasta berbasis islam, dia lebih mengetahui agama dibanding
teman-temannya di SMP negeri. Tetapi, semakin hari semakin buruk sikap dan
perilakunya karena pergaulannya, ketaatannya pada agama pun berkurang. Allah memberi
dia kesenangan yang sangat berlimpah, tetapi pada saat itu dia tidak mengetahui
bahwa sebenarnya Allah sedang mengujinya.
Menjelang ujian nasional kelulusan SMP
dia mulai merasa ada sesuatu yang mengganjal pada dirinya, dia merasa bahwa
bukan dia yang sedang berada dalam dirinya. Satu demi satu sikap dan perilaku
diperbaiki olehnya. Yang menjadi pertanyaan adalah Dia melakukan ini semua
karena tulus dan ikhlas atau karena takut tidak lulus, entahlah hanya Allah
yang maha tau.
Alhamdulillah, dia dinyatakan lulus
dengan nilai yang lumayan saat pengumuman kelulusan ujian nasional. Meskipun demikian,
dia gagal untuk masuk ke SMA negeri Ibu kota. Akhirnya kedua orangtuanya
mendaftarkannya di sekolah swasta berbasis islam di sekitar daerah desanya agar
dia bisa memperbaiki sikap dan perilakunya.
Semenjak masuk sekolah itu, hari demi
hari dia menunjukkan perubahan yang meskipun sangat kecil namun sangat berarti
bagi orangtuanya. Pelajaran agama yang lebih sering ia dapat dibanding saat di
SMP negeri membuatnya lebih memahami arti islam. Dulu, dia hanya memakai jilbab
saat bersekolah. Kini, dia mulai membiasakan diri untuk setiap saat memakai
jilbab. Panas dan gerah memang yang dia rasakan tetapi dia sadar bahwa neraka
lah yang lebih panas.
Dia menyadari bahwa kegagalannya saat
SMP adalah karena kesombongannya pada Allah SWT. Karena itu dia memfokuskan
diri agar berhasil dengan mendekatkan diri kepada Allah. Dia mencoba merubah
sikap dan perilaku buruknya, berusaha baik dan ramah pada sesama, saling
menolong dan membantu meskipun terkadang masih merasa tidak sepenuhnya ikhlas. Tetapi,
itu semua tetap dia lakukan.
Awalnya, dia mendekatkan diri kepada
Allah hanya karena dia ingin berhasil. Tetapi, akhirnya dia sadar bahwa yang
dia lakukan adalah salah. Dia mencoba merubah niatnya bahwa dia melakukan semua
itu hanya karena ingin mendapat ridhoNya.
Tiga tahun masa SMA telah dilaluinya,
dia telah berhasil menggapai impiannya untuk masuk di PTN. Dia diterima di
salah satu PTN Ibu kota, dimana pergaulan yang semakin bebas karena telah
dewasa. Dia merasa dirinya tidak lebih baik daripada orang lain, dia merasa
dirinya masih buruk. Dia hanya berusaha memperbaiki diri dan terus memperbaiki
diri. Yang selalu menjadi pertanyaan di pikirannya adalah bisakah dia menjaga
dirinya agar bisa selalu istiqomah dengan apa yang telah dilakukannya selama
masa SMA?
Dia merasa dirinya semakin lalai dalam
keberhasilannya saat ini. Dia semakin menjauh dari Allah. Kadang menjauh,
kadang mendekat, sangat manusiawi memang. Tetapi, dia sebenarnya tidak ingin
pergi dan datang begitu saja. Dia sangat ingin sekali agar bisa selalu istiqomah
dalam beribadah dan belajar. Dia selalu bertanya kepada dirinya “mengapa aku ingin istiqomah dalam beribadah dan belajar, Apakah karena masih
ada keimanan dalam diriku? Jika ada, mengapa aku masih mendustakan nikmat yang
telah tuhan berikan?”
Komentar
Posting Komentar